Selasa, 13 Januari 2009

ALTERNATIF PENDANAAN INVESTASI
DI BIDANG TELEKOMUNIKASI
Kasus : IPO PT. Telkom Tbk
Tanpa terasa sudah hampir 12 tahun usia PT. Telkom Tbk. Banyak
romantika yang dialami pada saat membawa Telkom menjadi
perusahaan publik terbuka yang terdaftar di dalam negeri (Jakarta dan
Surabaya) dan di luar negeri (New York dan London). Liku-liku upaya
Direksi Telkom untuk mengubah sejarah perusahaan BUMN yang telah
berusia 50 tahun di tahun 1995 menjadi perusahaan Tbk melalui
penawaran saham internasional atau Global Initial Public Offering
disingkat IPO merupakan seni dan tantangan tersendiri yang tidak
banyak diketahui oleh publik termasuk para pejabat masa kini.
Kemungkinan yang mereka ketahui hanyalah bahwa pada tanggal 14
Nopember 1995 Telkom telah mencatatkan (listed) di Bursa Saham New
York (NYSE), London (LSE) dan Jakarta (BEJ) serta Surabaya (BES)
pada pukul 21.30 WIB dimana untuk pertama kalinya BEJ membuka
transaksi di malam hari (karena adanya perbedaan waktu 12 jam antara
Amerika Serikat dan Indonesia).
Gagasan Awal
Sesungguhnya upaya menjadikan Telkom Tbk. diawali setelah terjadinya
penggantian pimpinan Telkom dari Cacuk Sudaryanto kepada Setyanto
pada tanggal 10 Oktober 1992, dimana saat itu Telkom dihadapkan
pada kondisi adanya desakan kebutuhan dana dalam jumnlah yang
cukup besar untuk membangun sarana telekomunikasi sebayak 5 juta
satuan sambungan telepon (sst).
Disampaikan oleh Setyanto P. Santosa, Komisaris PT. Indosat Tbk, Mantan Dirut PT.
Telkom Tbk (1992-1996) pada acara Pelatihan Calon An alis Kredit PT. Bank Negara
Indonesia Tbk di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada pada tgl. 23 Juni 2007.
2
Dan setelah serah terima, Menteri Keuangan J.B.Sumarlin menawarkan
“bantuan” kepada Setyanto untuk mempercepat penerbitan obligasi yang
telah dirintis sebelumnya oleh Cacuk untuk membiayai program
pembangunan. Mengapa harus dibantu Menteri Keuangan? Karena
adanya persyaratan bahwa suatu perusahaan diijinkan menerbitkan
obligasi apabila telah meraih laba tiga tahun berturut- turut, sedangkan
pada saat itu Telkom baru satu tahun berubah menjadi Persero,
sehingga Sumarlin menawarkan rekomendasi perkecualian agar
penerbitan obligasi dapat diwujudkan. Namun oleh Setyanto “kebaikan”
tersebut ditolak mengingat beban hutang Telkom saat itu cukup berat
yakni k.l. Rp 5,8 Triliun atau USD 2,3 milyar. Dan penerbitan obligasi
sebenarnya adalah hutang yang akan menambah beban Telkom,
meskipun tingkatan solvabilitas Telkom masih baik. Sehingga sebagai
alternatif pencarian dana diusulkan penawaran saham umum karena
dari struktur permodalan akan lebih baik dibandingkan perolehan dana
dari hutang dalam bentuk obligasi. Sumarlin saat itu mengingatkan
bahwa membawa Telkom untuk go public adalah suatu hal yang luar
biasa tingkat kesulitannya karena akan memerlukan kerja ekstra keras
dan upaya pembenahan di dalam Telkom harus dilakukan secara
sungguh-sungguh. Nasihat ini disadari dan disanggupi akan dapat
diselesaikan dalam waktu tiga tahun sehingga pada tahun 1995
diharapkan akan dilaksanakan pengumpulan dana murah melalui IPO.
Sejak itu berbagai program pembenahan dilakukan yang mengarah
kepada persiapan IPO antara lain pencanangan “back to basic”,
pembenahan sistem pemeliharaan kabel, penerapan budaya perusahaan
ARTI (Akurat Responsif dan Simpati), restrukturisasi (right-sizing)
organisasi dan personalia, pensiun dini (golden handshake) dan KSO
(kerja sama operasi) yang desain untuk memasukkan fresh blood agar
dapat mengubah budaya kerja menjadi lebih customer oriented. Kesemua
persiapan ini dapat dilaksanakan sesuai jadwal dan pada bulan Oktober
3
1995 dapat diselesaikan dengan baik sehingga dalam waktu tiga tahun
Telkom sudah berubah dan siap untuk di go-public kan.
Dilusi vs Divestasi
Motivasi kerja manajemen Telkom untuk melakukan privatisasi saat itu
sungguh sangat berbeda dengan motivasi privatisasi saat kini yang
pendekatannya lebih merupakan desakan dan perintah pemegang
saham untuk dilaksanakan sehingga ada paksaan dari atas dan dikejar
waktu untuk menjual saham milik pemerintah (divestasi). Sedangkan
yang dilakukan oleh Telkom saat itu adalah murni untuk kepentingan
pengembangan perusahaan sehingga proses yang dilakukan pada
awalnya adalah dilution atau penerbitan saham baru, setelah itu
kemudian Pemerintah “nimbrung” ikut menjual saham yang dimilikinya
(divestment). Oleh karena itu tidak ada paksaan dan tidak perlu di kejarkejar
oleh target APBN atau desakan IMF karena yang diutamakan
adalah dapat masuknya dana segar untuk pengembangan perusahaan.
Sehingga dalam menyiapkan pun baik manajemen maupun karyawan
Telkom termotivasi dengan baik karena berharap dimasa depan
perusahaan akan lebih baik dan lebih tangguh, dan sebagai karyawan
mereka akan mempunyai kesempatan pula memiliki saham melalui
ESOP (Employee Stock Ownership Plan) sebesar 10% dari jumlah saham
yang dijual ke publik.
Tantangan
Walaupun telah siap untuk go public, berbagai tantangan masih
menghadang proses IPO antara lain adanya pendapat (rekomendasi)
Bank Dunia pada tahun 1994 yang minta agar privatisasi Telkom
dilakukan pada REPLITA VII karena kondisi intern Telkom belum siap.
Opini ini rupanya mempengaruhi Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad
serta Menparpostel Joop Ave sehingga pada awalnya tidak mengijinkan
permintaan Direksi Telkom untuk IPO. Namun Direksi Telkom pantang
4
menyerah dan minta agar dapat dilakukan tahun 1995, dengan
pertimbangan apabila setelah tahun itu akan berat menjualnya karena
Bundest Telecoms (Jerman) akan melakukan IPO pada tahun 1996 yang
akan merupakan IPO terbesar di dunia sehingga dana di bursa
internasional akan terkuras oleh Jerman. Dan Telkom mengusulkan
(sambil mendesak) bila upaya untuk mendapatkan dana murah dari
masyarakat tidak disetujui maka kebutuhan dana pembangunan
untuk lima tahun kedepan sebesar Rp. 25 Triliun ( USD 10 milyar) agar
sebagian dapat dipenuhi oleh Pemerintah karena pembangunan 5 juta
satuan sambungan telepon (sst) harus dilakukan guna memenuhi
desakan kebutuhan rakyat. Akhirnya sebagai langkah kompromi
pemerintah mengabulkan desakan Telkom dengan syarat menunggu
second opinion, yang lalu ditugaskankanlah konsultan Price
Waterhouse Coopers (PWC) untuk melakukan assesment atau penilaian
apakah Telkom sudah layak go public. Dan kepada konsultan inilah
Telkom menitip pesan untuk meyakinkan Pemerintah bahwa memang
Telkom eligible untuk melakukan penawaran saham, yang akhirnya
disetujui pada bulan Maret 1995. Dalam proses penunjukan penjamin
emisi (underwriters), ikut campur Pemerintah dalam proses seleksi
sangatlah dalam sehingga Tim 7 yang dibentuk pun hanya sebagai
kelompok legalitas saja. Hasil yang sangat mencolok dan yang nantinya
menjadi beban bagi Direksi Telkom, serta dikritik oleh berbagai media
adalah penunjukan 4 penjamin emisi dalam negeri (Danareksa, Bahana,
Makindo dan Jardine Fleming Nusantara) dan 4 penjamin emisi luar
negeri (Merill Lynch, Goldman Sachs, Lehman Brothers dan SBC
Warburg). Proses beauty contest-nya sendiri sebenarnya sangat baik dan
mengikuti norma-norma internasional yang berlaku tapi saat penetapan
keputusan, anggota Tim tidak terlibat dan tampaknya ada “rekayasa”
agar kedelapan penjamin emisi terbaik dari beauty-contest tersebut
ditunjuk sebagai penjamin emisi penawaran saham umum Telkom.
Pertimbangan yang di publikasikan saat itu adalah bahwa karena dana
5
yang akan dihimpun oleh Telkom sangat besar ( k.l. USD 2 milyard)
maka perlu diadakan pembagian tugas kepada masing-masing penjamin
emisi yang masing-masing mempunyai kekuatan di segmen pasar
internasional (Asia, Amerika Serikat dan Eropah).
Mengapa harus listed di pasar global ? Hal ini dilakukan karena
disamping besarnya transaksi yang akan dilakukan, pendaftaran di
NYSE dan LSE juga sangat diperlukan untuk memudahkan akses ke
bursa internasional yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan bila
perusahaan memerlukan dana tambahan untuk pengembangan usaha.
Sangat disayangkan peluang ini sampai saat ini masih belum digarap
dan dimanfaatkan oleh Direksi Telkom. Sehingga rintisan jalan para
pendahulu untuk memudahkan mendapatkan sumber dana yang murah
di pasar internasional (misalnya dengan right-issue atau internatonal
bonds) akan menjadi sia-sia bila tidak dimanfaatkan sebagaimana
mestinya.
Housekeeping
Untuk mempersiapkan global IPO, bagi perusahaan sebesar Telkom yang
paling berat dirasakan oleh intern Telkom adalah proses “house-keeping”
termasuk proses due diligence dan berbagai kegiatan audit baik
keuangan, operasional maupun aspek hukum. Pekerjaan house-keeping
dilakukan oleh Direksi dan seluruh jajaran Telkom untuk membuat agar
perusahaan menjadi lebih menarik diukur dari berbagai kriteria
keuangan maupun perencanaan masa depan perusahaan. Termasuk
didalamnya adalah visi manajemen dan leadership Direksi dalam
menghadapi berbagai tantangan saat itu maupun masa depan. Berbagai
taktik dan strategi agar perusahaan menjadi menarik pun di
kembangkan dan akhirnya Telkom mendapatkan valuation atau nilai
perusahaan sebesar saat itu k.l. USD 11 milyar. Dan pada akhirnya
ditargetkan untuk melakukan pendaftaran penjualan saham pada bulan
6
Nopember 1995 (sebelum liburan Natal), jadi praktis persiapan formal
hanya enam bulan. Kesemuanya ini telah memaksa Direksi dan
seluruh jajaran Telkom bekerja keras agar jadwal tersebut dipenuhi.
Hasil akhir dari pekerjaan rumah tangga ini dituangkan dalam bentuk
prospektus atau red-herring yang harus disetujui oleh SEC (Securities &
Exchange Commission) untuk di pasar internasional dan Bapepam
untuk pasar domestik. Bermodalkan dokumen inilah kemudian
dilakukan road show ke 33 kota besar di Asia-Australia, A.S. dan
Eropah, tempat dimana investor kelas dunia berada, selama 3 minggu
(dari tanggal 21 Oktober s.d 9 Nopember 1995). Dan karena
keterbatasan waktu maka dibentuklah dua tim road show yang
dinamakan Tim Merah dipimpin oleh Direktur Utama atau CEO (Chief
Execeutive Officer) dan Tim Putih dipimpin oleh Direktur Operasi atau
COO (Chief Operating Officer) dan pada akhirnya Direksi Telkom dapat
menyelesaikan 159 pertemuan untuk meyakinkan investor agar bersedia
membeli saham Telkom. Ditengah-tengah upaya menawarkan saham
Telkom ini timbul suasana yang kurang mendukung yakni terjadinya
krisis ekonomi di Meksiko. Hal ini sangat berpengaruh karena bagi
investor Amerika Serikat pada khususnya, krisis ini mereka yakini akan
melanda pula Indonesia karena tergolong kedalam kelompok negara
berkembang. Namun Direksi Telkom mampu meyakinkan para investor
bahwa struktur perekonomian Indonesia berbeda dengan Meksiko dan
fundamental ekonominyapun sangat kuat dengan pertumbuhan
ekonomi saat itu 7 %, jadi kecil kemungkinan akan merambah ke
Indonesia. Memang saat itu adalah golden year bagi Indonesia dan
tidak pernah terbayangkan bahwa Indonesia akhirnya akan mengalami
juga krisis ekonomi seperti Meksiko, yang bermula dari krisis Thailand
di akhir tahun 1997, dan sampai saat ini belum dapat disembuhkan.
7
Nyaris Batal
Sementara itu di dalam negeri pun muncul kelompok pemain di pasar
modal yang oportunistis untuk membatalkan penjualan saham Telkom
di pasar internasional melalui NYSE dan LSE dan semuanya dijual di
pasar domestik. Alasannya adalah karena harga yang ditawarkan tidak
di respons secara positif oleh pasar (akibat krisis Meksiko) . Gerakan ini
tidak memikirkan kepentingan nasional dan lebih bermotif untuk
memperoleh keuntungan tambahan karena mereka berharap investor
luar negeri akan menyerbu pasar dalam negeri meraup saham Telkom
(yang akan mereka kuasai) dengan harga yang tinggi karena memang
dengan pertumbuhan usaha 35% Telkom adalah perusahaan yang
sangat menarik untuk dibeli. Tampaknya Pemerintah pun terpengaruh
dengan upaya kelompok ini karena memang lobbynya di tingkat atas
sangat kuat, sehingga berkembang rumor bahwa pendaftaran di NYSE
dan LSE akan dibatalkan. Disinilah terjadi suasana kritis yang tidak
banyak diketahui oleh publik. Pemerintah menghendaki dibatalkan
sedangkan Direksi Telkom berusaha agar tetap dilaksanakan karena
memang belajar dari pembatalan IPO perusahaan telekomunikasi VSNL
India (yang kemudian tidak diminati lagi oleh investor internasional)
gara-gara pada saat penetapan harga, Pemerintah India tetap
menginginkan harga yang tinggi diatas harga yang diminati pasar. Dan
akhirnya lebih dari 3 tahun VSNL tertunda untuk dapat masuk Bursa
Efek New York. Oleh karena itu usulan yang ditawarkan Direksi Telkom
adalah bila akibat krisis Meksiko ternyata harga pasar lebih rendah dari
harga yang diharapkan (USD 20), maka cukup berlakukan saja
hukum ekonomi yakni mengurangi kuantitas atau jumlahnya dikurangi
yang semula 15% dikurangi lebih rendah dari jumlah tersebut (misalnya
7,5%), tetapi jangan dibatalkan dan IPO harus tetap dilakukan karena
road-show sudah selesai dilaksanakan. Sampai menjelang saat-saat
terakhir keputusan pemerintah masih belum ada, maka dari Hotel Four
Seasons New York tanggal 12 Nopember 1995 pada pukul 01.00 waktu
8
setempat, dikirimkan surat resmi Direksi Telkom yang bernada agak
menentang pendapat Pemerintah untuk membatalkan penawaran
saham di pasar global dan diusulkan agar tetap didaftarkan dengan
berbagai justifikasi.
Disamping itu dicari pula jalan melalui lobby ke Meneg Ristek Prof. B.J.
Habibie yang saat itu ( tanggal 11 Nopember 1995) sedang melakukan
perjalanan ke Eropah untuk meyakinkan Presiden Soeharto agar tetap
dilakukan penjualan saham Telkom di pasar internasional dengan
kuantitas yang dikurangi. Pendekatan ini ditempuh karena pada masa
itu tidak ada seorangpun anggota kabinet, selain Prof. Habibie, yang
berani mengatakan “tidak” kepada Presiden Soeharto. Dan akhirnya
terjadilah transaksi yang bersejarah pada tanggal 14 Nopember 1995
yang untuk pertama kalinya Bursa Efek Jakarta dibuka pada malam
hari. Walaupun penawaran harga perdana pada saat itu diawali dengan
harga USD 18 kemudian bergerak dan ditutup pada USD 19, namun
dalam waktu tiga bulan telah naik secara mengagumkan menjadi USD
30. Jadi benar yang dikatakan seorang ahli pasar modal yang
menyatakan bahwa orang akan lupa harga pada saat perdagangan
perdana karena akan tertutup oleh penetapan pasar setelah itu. Banyak
investor yang diuntungkan oleh saham Telkom, dan di bursa dalam
negeripun telah mampu menambah jumlah investor sebanyak 200.000
investor baru sehingga menjadi 400.000 investor saat itu. Dana segar
yang berhasil dihimpun dari IPO Telkom sampai saat ini masih
memegang rekor tertinggi transaksi IPO yang pernah dilakukan oleh
perusahaan Indonesia yakni USD 1,7 milyar yang berasal dari penjualan
saham di dalam negeri 10 % dan 7,5% di pasar internasional. Angka ini
lebih menakjubkan lagi dan masih merupakan rekor apabila
dibandingkan dengan upaya IPO yang saat ini sedang dilakukan oleh
berbagai BUMN yang transaksi masih berada dibawah angka tersebut.
9
Kunci Sukses
Berbagai pertanyaan diajukan oleh para wartawan kepada Direksi
Telkom saat itu tentang kunci keberhasilan pelaksanaan IPO Telkom
yang sebelumnya tidak pernah diperkirakan akan dilaksanakan secepat
yang telah terjadi. Sesungguhnya kunci suksesnya terletak pada
kemauan karyawan Telkom untuk berubah karena mereka menyadari
bahwa “the constant is change” yang tetap adalah perubahan. Kalau
Telkom tidak mau berubah maka angin perubahan akan menerpa
Telkom dan saat itu akan gelagapan tidak tahu arah yang dituju agar
tetap bertahan (survive). Keberhasilan untuk membuat karyawan mau
berubah karena adanya leadership yang kuat yang mampu ditunjukan
oleh anggota direksi yang bersatu, mantap dan kompak. Kekuatan inilah
yang menjadikan Telkom berjaya. Contoh kekompakan direksi ini perlu
ditiru pula oleh direksi Telkom masa kini dan juga para direksi BUMN
atau perusahaan lainnya. Karena sering terjadi pernyataan kekompakan
hanya sampai di bibir saja tanpa diikuti oleh keikhlasan dengan
tindakan nyata dalam kegiatan sehari-hari, sehingga sering
membuahkan perpecahan di tingkat pimpinan yang akhirnya akan
membawa malapetaka terhadap perusahaan tersebut. Saat IPO itu
pulalah diperkenalkan pula motto Telkom yang lebih berorientasi ke
kepentingan kastemer (customer oriented) yakni menjadi “Setia Melayani
Anda” yang untuk kepentingan IPO diterjemahkan menjadi Committed
to You, sampai saat ini masih dipertahankan.
Memang benar terbentuk suatu kebanggaan menjadi perusahaan
publik, apalagi tercatat di bursa internasional, hal ini menjadikan
Telkom perusahaan yang lebih bergengsi dibandingkan BUMN lainnya,
dikenal di dunia internasional. Namun hal ini seharusnya diikuti pula
dengan upaya peningkatan profesionalitas dan daya saing unsur-unsur
didalamnya, sanggup bekerja keras dan cerdas (work hard & smart)
10
sehingga berani dan mampu bersaing dengan perusahaan sejenis di
kawasan Asia atau ASEAN seperti yang dicita-citakan para pendahulu,
dan tidak hanya puas sekedar menjadi “jago kandang” di Indonesia saja.
Cerita keberhasilan ini selalu menjadi legenda seperti halnya keputusan
mendirikan perusahaan Telkomsel pada bulan Mei 1995 yang saat itu
hanya menjadi anak bawang dibawah Satelindo, ternyata dua belas
tahun kemudian berhasil merajai bisnis telepon selular di Indonesia
bahkan sanggup mengalahkan induknya ( PT. Telkom Tbk) dengan
pelanggannya hampir 50 juta. Kesemuanya ini karena visi dan strategi
yang mewarnai saat pendiriannya menuju ke arah yang benar, a journey
of thousands miles begin with the first step.
Jakarta, 23 Juni 2007

Setyanto P. Santosa
setyanto@pacific.net.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar